Dari : Ghazali Abbas Adan (Mantan Anggota DPR RI/Mantan Calon Bupati Pidie)
Yang
jelas dan terus menerus dituntut rakat Aceh selama ini adalah
bagaimana Pemerintahan Aceh baik eksekutif dan legislatif ada upaya dan
bukti nyata mensejahterakan rakyat dengan berbagai regulasi dan program
pro rakyat. Termasuk Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan
Qanun Jinayah dan Acara Jinayah. Demikian kata Ghazali Abbas Adan, Kamis (11/4), kepada wartawan melalui surat elektroniknya.
Menurutnya, setelah
sekian lama diminta berbagai elemen masyarakat beberapa waktu lalu
sebagaimana diberitkan media massa DPRA telah memasukkan dalam agenda
qanun yang akan dibahas. Ini sangat berbeda dengan Qanun Lembaga Wali
Nanggroe, demikian pula qanun tentang bendera dan lambang Aceh, kendati
tidak pernah diminta rakyat, tetapi sim salabim sudah jadi dan
disahkan,kemudian sim salabim pula dimasukkan dalam Lembaran Daerah.
"Betapa
eksekutif dan legislatif Aceh saat ini begitu sungguh-sungguh dan
bersemangat melakukan sesuatu apabila bersentuhan dengan kepentingan
diri dan gengnya, dan dalam waktu yang bersamaan berbanding terbalik
dengan kepentingan rakyat banyak. Bahwa terhadap kinerjanya itu mendapat
protes dari berbagai elemen masyarakat, mereka menutup mata dan
telinga," kata mantan Anggota DPR RI ini.
Lihat
saja bagaimana gencarnya kritik dan penolakan massif terhadap Qanun
Wali
Nsnggroe, bendera dan lambang Aceh, tetapi mereka tidak peduli. Bahkan
yang terakhir muncul kontroversi berkaitan dengan Qanun Bendera dan
Lambang yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan pemerintah, tetap
saja mereka ngotot dan menunjukkan sikap keras kepala. Malah ada
anggota dewan yang menyatakan, sampai dicincang sekalipun bendera dan
lambang produk Pemerintah Aceh dan DPRA tetap dipertahankan.
"Ini
adalah pernyataan konyol dan arogan. Saya kira pemerintah pusat tidak
akan tunduk kepada siapapun warga negara yang dengan arogan dan pongah
menunjukkan sikap menentang dan pembangkangan terhadap konstitusi
negara, dan memang demikianlah semestinya, demi tegaknya wibawa
pemerintah pusat dan supremasi konstitusi negara," ujarnya.
Saya
kira sikap keras kepala yang dipertontonkan itu, tidak terlepas dari
sikap pemerintah pusat, melalui Mahkamah Konstitusi melakukan tutup buka
pendaftaran peserta pemilkuda Aceh tahun lalu, padahal ia bukanlah
prinsip ketegasan MK dalam semua Pemilukada di tanah air selama ini.
Tetapi untuk Partai Aceh pemerintah pusat dan MK labil dan linglung.
Sudah dikasih hati, kini minta jantung.
Katanya
lagi, terhadap janji-janji yang diumbar dalam kampanye Pemilukada lalu,
seperti pemberian Rp 1 juta/bulan/keluarga, naik haji gratis begi anak
Aceh yang sudah akil balik dengan kapal pesiar dan lain-lain dari 21
janji, sampai saat ini hanya pepesan kosong. Tidak terdengar lagi kapan
janji itu diwujudkan. Apabila ada suara-suara yang mengingatkannya,
jangankan ada upaya nyata mewujudkan, respons saja tidak ditunjukkan.
Tatapi bagaimanapun menunjukkan sikap pekak, namun akyat Aceh tidak
boleh dan tidak akan berhenti menuntutnya.
Posting Komentar