ABPD & APBN 2013 Rawan Dipolitisasi
Jadi Biaya Pencitraan Pemilu 2014
Jadi Biaya Pencitraan Pemilu 2014
MANADO , AwdiOnline.Com - Tahun 2013 menjadi tahun politik, karena tahun depan akan berlangsung Pemilu legislatif. Anggaran pemerintah tahun ini pun tidak lepas dari pengaruh politik. “Sudah pasti posisi APBD dan APBN rawan dipolitisasi,” ujar pengamat politik dan pemerintahan Max Rembang.
Dan yang bakal diuntungkan di momen ini, sambung Rembang, adalah para inkumben politik, terutama mereka yang di legislatif saat ini. “Mereka key person dalam budjeting, pasti tahu kondisi anggaran,” kata dosen FISIP Unsrat ini. “Di kabupaten/kota paling rawan,” ujar Rembang.
Pengamat politik Philip Regar setuju dengan Rembang. Katanya, politisi yang sekarang duduk di dewan yang akan mencalonkan lagi selangkah lebih maju dibanding para muka baru. “Ya, salah satu keuntungan mereka bisa mengakomodir apa yang jadi keinginan masyarakat dengan kewenangan yang dimiliki saat ini. Memang dilematis juga. Kalau kita mengatakan tidak boleh, itu sudah tugas mereka,” tutur Dekan FISIP Unsrat ini.
Pernyataan Herman Najoan, pengamat politik dan pemerintahan dari kampus yang sama lebih tegas. Katanya, munculnya figur baru dari kalangan keluarga pejabat pemerintah akan menambah runyam beban anggaran dari politisasi. “Akhirnya semua kegiatan pelayanan masyarakat yang dibiayai pemerintah akan sangat kental nuansa politik. Apa saja dipolitisasi,” tukasnya.
Upaya politisasi anggaran itu juga, menurut Najoan, merupakan proses pembodohan kepada masyarakat. Alasannya, anggaran pemerintah itu adalah milik rakyat yang memang harus dikasih ke rakyat. “Legislator atau pun eksekutif itu hanya sebagai fasilitator saja yang mengelola dan melaksanakan alokasi anggaran rakyat itu,” tukasnya.
Jadi, tambah Najoan, diserahkan langsung atau lewat perantara legislator dan eksekutif, tidak ada pengaruhnya karena memang dana itu haknya rakyat. “Jangan mau lagi rakyat dibodohi mereka yang membonceng di anggaran milik rakyat itu,” ujar Najoan.
Regar menambahkan, barangkali yang perlu diimbau adalah alokasi penyerapan aspirasi yang harus sesuai porsi atau memenuhi mekanisme yang berlaku. “Lihat aspek kebutuhan. Kalau memang tidak ada anggarannya jangan dipaksa,” tandasnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sulut Noldy Tuerah tidak menampik adanya politisasi anggaran pemerintah itu. “Memang ada tendensi seperti itu. Namun apabila itu benar terjadi akan sangat mudah menjadi sebuah temuan yang mencurigakan,” tukasnya
Tuerah menambahkan, apabila terjadi mobilisasi pembiayaan yang berlebihan di suatu lokasi oleh SKPD karena ‘dorongan’ partai penguasa, maka badan anggaran (Banggar) akan mencurigainya. "Kecuali anggaran tersebut konsisten penggunaannya, dan itu memungkinkan," ujarnya.
Bappeda, kata Tuerah, dalam dalam tugasnya (menyusun APBD) harus bersifat netral. Karena dalam pendistribusian anggaran harus memperhatikan tujuan APBD. "Kita memperhatikan daerah-daerah yang layak mendapat pembiayaan prioritas, seperti daerah kepulauan, daerah rawan bencana, dan program pangan," ujar Tuerah.
Sekadar referensi, tahun ini pemerintah menggelontorkan dana hampir Rp16 triliun ke Sulut. Angka ini belun terhitung pendapatan asli daerah (PAD) di provinsi dan kabupaten/kota. Dari seluruh alokasi itu, hanya DAU senilai Rp6,7 triliun dan sebagian dalam anggaran lewat pos kantor pusat (APBN) Rp2,69 triliun yang terbagi untuk gaji pegawai—yang tidak mungkin akan dipolitisasi.
Dalam DAU atau anggaran APBN untuk beberapa instansi pusat di daerah seperti jajaran pertahanan (TNI), kepolisian, kejaksaan, kehakiman, pertanahan, keuangan, dll. sangat sulit tersentuh politisasi. “Tapi yang di kantor-kantor Kementerian Agama, walaupun instansi pusat, tapi masih rawan. Soalnya, ada dana bantuan sosial ke rumah-rumah ibadah di situ,” ungkap beberapa politisi.
Jika dua pos anggaran itu, sekira Rp9,3 triliun, hanya 70 persen untuk gaji pegawai, berarti masih ada 30 persen atau Rp2,79 triliun dalam bentuk proyek belanja modal atau kegiatan lain di luar gaji pegawai. Jumlah itu masih ditambah lagi dengan pos lain seperti DAK, bagi hasil, penyesuaian, kantor vertikal dll. (lihat grafis) yang sebagian besar untuk belanja langsung atau pembangunan, jumlahnya mencapai Rp6 triliun lebih. Kalau dihitung-hitung Rp8 triliun lebih yang rawan dipolitisasi itu. “Bukan hanya di APBD, dana APBN pun rawan,” ujar Najoan.
Simak pula penuturan salah satu mantan pejabat di Pemprov Sulut. Kata pejabat yang belum lama pensiun dari salah satu jabatan eselon II di Pemprov itu, sewaktu dia menjabat tidak jarang upaya politisasi anggaran itu. “Mereka berkedok di aspirasi masyarakat (Asmara),” katanya. “Bagi saya tidak masalah karena mereka berjuang untuk konstituennya. Yang parah justru mereka minta kegiatan itu mereka tangani lewat orang kepercayaannya. Ini artinya sudah politisasi anggaran, mau ambil keuntungan pula,” tukas sumber.
Sinyalemen ini dibantah dua legislator Sario, Djenri Keintjem dan Edison Masengi, yang kemungkinan akan maju dalam Pemilu 2014. Keintjem yang juga Ketua Fraksi PDI-P menegaskan anggapan tersebut keliru. Sebab, menurut Sekretaris Komisi III ini, sudah selayaknya para wakil rakyat yang saat ini duduk di DPRD memperjuangkan apa yang jadi aspirasi rakyat. “Kalau memang diakomodir sangat bagus. Dan jika memang masyarakat kembali memilih kami duduk di dewan karena kinerja kami seperti itu, saya kira tak ada masalah,” tukas politisi yang siap-siap ke DPR RI ini.
Sementara Ketua Fraksi Partai Golkar Edison Masengi dengan tegas mengatakan anggapan seperti itu tidak benar. “Bagaimana kami bisa menggunakan APBD untuk kampanye? Kami tak punya power lebih untuk itu. Hasil reses saja kadang tak diakomodir. Kalau memang masyarakat masih memilih kami, itu artinya di mata mereka kita bisa memperjuangkan aspirasi,” tukas wakil Golkar dari Minsel ini.(HN. Ngangi)
Posting Komentar