Home » , » Kasus Tanah Alm. Arifin Medan

Kasus Tanah Alm. Arifin Medan

Written By Kantor Berita AWDI Pers on Senin, 26 Mei 2014 | 21.41

Kasus Tanah Alm. Arifin Medan

Medan, Awdionline.com
SALAH satu dari dua penyebab mengapa konflik pertanahan menjadi laten di seantero Nusantara adalah karena lemahnya substansi hukum yang mengatur tindak pidana penyerobotan lahan. Selain lemah, prosedur beracara di level penyelidikan dan penyidikan juga sangat merepotkan. Karenanya jangan heran jika penyerobotan tanah milik warga atau tanah ulayat oleh korporasi makin merajalela dan akhirnya menimbulkan konflik horizontal yang mematikan.
Lemahnya hukum tindak pidana penyerobotan lahan setidaknya terlihat dalam dua hal. Pertama, logika hukum dari pasal-pasalnya tidak konsisten satu sama lain dan, kedua, ancaman pasal dari tindak pidana bersangkutan sangat rendah dan nyaris tak masuk akal. Jadi jangan heran jika masyarakat malas membawa kasus demikian ke proses hukum.
Bayangkan saja. Jika seseorang menyerobot atau menguasai atau mengganggu tanah milik si A, tanpa izin, misalnya, maka si pelaku hanya diancam pidana 3 (tiga) bulan saja maksimal dan/atau denda paling banyak Rp.5.000 (lima ribu rupiah). Hal ini sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 6 UU No 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya.
Seperti halnya yang terjadi atas lahan sebidang tanah darat milik Almarhum Aripin yang beralamatkan di Jl. Alumunium IV Lingkungan 20 Kelurahan Tanjung Mulia Kecamatan Medan Deli Kotamadya Medan.

Hal ini terjadi pada tahun 1949 hingga sampai sekarang telah dihuni atau dikuasai oleh beberapa warga yang notabanenya bukan ahli waris atau keturunan dari Almarhum Aripin dengan luas tanah  60.1 Ha tersebut.

Kronologi, asal usul atau riwayat tanah yang luas +/- 60.1 Ha atas nama  Almarhum Aripin ini sudah puluhan tahun tepatnya tahun 1936, belum pernah sekalipun dipecah girik atau fatwa waris antara Almarhum Aripin dan tidak  pernah terjadi transaksi jual-beli antar inter oleh siapapun hingga saat ini, akan tetapi diatas lahan tersebut sudah berdiri beberapa bangunan berbentuk fisik rumah tempat tinggal, ironisnya para ahli waris yang sah tidak satupun yang menempati lahan tersebut.

Almarhum Aripin yang wafat pada tahun 1978 mempunyai seorang anak bernama Ruminem yang juga sudah wafat pada tahun 1995, dari Almarhum Ruminem Binti Airipin (Alm) dikarunai 10 orang putra dan putri, dan putra ke 3 sudah wafat jadi tinggal 9 orang yang diwariskan oleh Almarhum Ruminem yang disebut ahli waris yang sesuai dengan keturunan dari Almarhum Aripin.

Berikut daftar nama-nama dari para ahli waris tersebut yakni:

  1. Ngatini Emi (62)
  2. Ngatinem (Neong) (61)
  3. Suriji (Buyung) (58)
  4. M. Nasri (Sareng) (55)
  5. Siti Mulyani (Nining) (52)
  6. Nursila (49)
  7. Lastri Minarsih (47)
  8. Rahmad Safi'i (45)
  9. Syamsul Bahri, S.kom (43)
M. Nasri (Sareng) salah satu ahli waris mengungkapkan, kami sampai saat ini tidak memahami maksud dibalik kepentingan pribadi dari warga yang menempati tanah milik kakek kami tanpa ada konfirmasi terhadap keluarga kami," ungkapnya kepada  wartawan harian dan mingguan  di rumah salah keluarga ahli waris di wilayah Tangerang Kota

Ditempat yang sama , Rahmat Syafi'i yang merupakan  salah satu ahli waris ikut angkat bicaramengutarakan bahwa kami selaku ahli waris hanya mengingatkan kepada siapapun yang berani menyerobot tanah milik "kakek " kami, maka kami akan membawa kasus ini ke ranah hukum," katanya kepada wartawan
Menurut Ahli Hukum DPC AWDI Kota Tangerang , REDI   SH, MH Mengutarakan Bahwa Dalam hal tanah yang diserobot belum bersertifikat, lalu tanah yang diserobot tersebut disewakan oleh si penyerobot, atau dibebaninya hak tanggungan, atau dijual, atau ditukarkan, maka ancaman pasalnya lebih berat. Tindak pidana kategori ini diancam 4 (empat) tahun penjara, sebagaimana ditentukan  Pasal  385 KUHP.
Dengan logika pasal demikian maka seseorang yang berniat jahat atau beritikad tidak baik akan enak saja menyerobot tanah orang karena toh ancaman pasalnya cuma tiga bulan. Nah, bagaimana jika penyerobotan lahan ini dilakukan sistematis oleh investor besar berbadan hukum, maka, makin sulit lagi pertanggungjawaban hukumnya.
Kalaupun penyerobotan lahan demikian dilaporkan ke kepolisian maka akan sangat merepotkan. Ilustrasinya begini. Penyerobotan lahan akan terkait dengan batas-batas tertentu yang pasti ukurannya. Untuk memastikan batas-batas demikian diperlukan pengukuran oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam praktik, untuk meminta pengukuran ini ada pula prosedur dan biaya-biayanya di BPN, meliputi biaya administrasi dan biaya penggantian ongkos transpor dari juru ukur. Proses di BPN ini sudah tentu memakan waktu.
Belum lagi proses pengukuran di lapangan yang rawan konflik. Karena itu, biasanya, akan diminta pengamanan dari pihak aparat kepolisian. Bayangkan, betapa merepotkan pengurusannya, sedangkan ancaman pasalnya cuma tiga bulan.
Dalam realita praktik hukum di lapangan tindak pidana penyerobotan lahan demikian tergolong sebagai tindak pidana ringan (tipiring). Berhadapan dengan tipiring demikian para penyidik biasanya enggan dan tidak semangat memprosesnya.
Hal ini tak terlepas bahwa yang akan menghadapkan perkara tipiring demikian ke persidangan adalah penyidik sendiri selaku kuasa penuntut umum, tanpa melalui perantara jaksa penuntut umum. Prosedurnya, penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu 3 (tiga) hari sejak Berita Acara Pemeriksaan (BAP) selesai dibuat, menghadapkan Terdakwa berserta barang bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan. Barulah kemudian perkaranya diperiksa oleh hakim tunggal.
Dalam situasi persidangan tipiring demikian penyidik acap enggan berjibaku karena tak biasa beracara di persidangan selayaknya jaksa penuntut umum atau pengacara.
Tidak heran jika penyidik kerap meminta “permakluman” dari para pelapor perkara tipiring demikian. Sebagai catatan kaki, permakluman di sini sengaja dalam tanda petik, karena bermakna macam-macam. Jangan heran jika penyidik minta uang transpor untuk itu, karena dirinya merasa mewakili kepentingan dan pengurusan hak-hak pelapor, jadi “wajar” meminta imbalan.
Kelemahan hukum dari pidana penyerobotan lahan/tanah ini perlu mendapat perhatian serius dari lembaga pembentuk hukum di DPR RI. Sudah saatnya ketentuan pidana demikian direvisi, dijadikan pidana biasa yang lebih berat, bukan tipiring seperti saat ini. Kapan perlu disertai sanksi pidana penjara dan denda sekaligus (kumulatif) dengan jumlah yang signifikan, apalagi jika pelakunya adalah korporasi.
(Die & Red)
Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Edited By : Abib Visual
Copyright © 2013. Awdi Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger